BISNIS - Bayangkan, di awal abad ke-20, seorang pria bernama Charles Ponzi hadir bagai angin segar yang menjanjikan kekayaan instan. Namun, di balik senyumnya yang memikat, tersembunyi rencana jahat yang akan mengukir namanya dalam sejarah sebagai pelopor skema penipuan investasi yang kita kenal sebagai 'skema Ponzi'. Ia tak pernah benar-benar menghasilkan keuntungan; sebaliknya, ia membayar investor lama dengan uang investor baru, sebuah trik licik yang bertahan lama.
Perjalanan Ponzi, yang diyakini lahir sebagai Carlo Ponzi di Parma, Italia, penuh liku. Konon, ia pernah mengenyam pendidikan di Universitas Roma La Sapienza sebelum memutuskan mengadu nasib di Amerika. Pada November 1903, ia tiba di Boston, membawa serta 'satu juta dolar dalam harapan', seperti yang pernah ia ungkapkan kepada New York Times. Harapan inilah yang menjadi modal utamanya dalam menipu banyak orang.
Awalnya, Ponzi menjalani hidup sederhana, mulai dari menjadi juru cuci piring. Pada tahun 1907, ia hijrah ke Montreal dan bekerja sebagai teller di Bank Zarossi, sebuah bank yang melayani komunitas imigran Italia dengan bunga tinggi. Namun, bank itu gulung tikar akibat kredit macet, meninggalkan Ponzi dalam keadaan bangkrut.
Nasib buruk belum berhenti. Ia sempat mendekam di penjara Quebec selama tiga tahun karena memalsukan cek. Alih-alih memberi tahu ibunya di Italia bahwa ia dipenjara, ia mengirim surat yang menyatakan dirinya bekerja di sebuah penjara Kanada. Kehidupan kriminalnya berlanjut setelah bebas; ia terlibat dalam penyelundupan imigran Italia ke Amerika, yang kembali membawanya ke balik jeruji besi selama dua tahun di Atlanta.
Kembali ke Boston, Ponzi menikahi Rose Gnecco pada tahun 1918. Ia mencoba berbagai pekerjaan, termasuk di toko kelontong mertuanya, namun tak ada yang bertahan lama. Di masa-masa inilah, sebuah surat dari Spanyol yang berisi kupon balasan internasional memantik ide briliannya. Ia menyadari potensi keuntungan dari membeli kupon tersebut di satu negara dan menukarnya dengan prangko yang lebih mahal di negara lain.
Skema Ponzi sangat sederhana namun mematikan. Ia mengirim uang ke agen di luar negeri untuk membeli kupon balasan internasional, yang kemudian dikirim kembali ke Amerika. Ponzi akan menukarnya dengan prangko bernilai jual tinggi. Laporan menyebutkan, ia bisa meraup keuntungan lebih dari 400 persen dari setiap transaksi.
Namun, keserakahan tak mengenal batas. Tak puas dengan keuntungan pribadi, Ponzi mulai mencari investor. Ia menjanjikan imbal hasil yang fantastis: 50 persen dalam 45 hari, atau 100 persen dalam 90 hari. Tentu saja, janji manis ini dibayar tunai dengan uang investor lain, bukan dari keuntungan riil.
Kekayaan Ponzi meroket. Ia mampu membeli sebuah mansion mewah di Lexington, Massachusetts, lengkap dengan AC dan kolam renang berpemanas. Konon, ia meraup keuntungan sekitar $250.000 per hari. Namun, kebohongan selalu memiliki batas waktu.
Pada Agustus 1920, investigasi oleh The Boston Post mulai menguak tabir penipuan ini. Berita tersebut memicu kepanikan di kalangan investor yang berbondong-bondong menarik dana mereka, menyebabkan perusahaan Ponzi runtuh.
Charles Ponzi akhirnya ditangkap pada 12 Agustus 1920, menghadapi 86 dakwaan penipuan pos. Dengan utang yang diperkirakan mencapai $7 juta, ia mengaku bersalah dan harus menjalani hukuman 14 tahun penjara. Pernikahannya dengan Rose Gnecco berakhir dengan perceraian pada tahun 1937. Ponzi mengembuskan napas terakhirnya sebagai orang miskin di Rio de Janeiro, Brasil, pada 18 Januari 1949, meninggalkan warisan kelam yang terus menjadi peringatan bagi dunia finansial. (PERS)

Updates.