BISNIS - Siapa sangka, di balik gemerlap kekayaan puluhan triliun rupiah yang kini melekat pada nama Prajogo Pangestu, tersimpan kisah perjuangan luar biasa. Ia bukan lahir dari keluarga berada, melainkan tumbuh dalam kesederhanaan di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Lahir dengan nama Tionghoa Phang Djoen Phen pada 13 Mei 1944, Prajogo kecil harus merasakan pahit getirnya kehidupan dari keluarga pedagang karet kecil. Pendidikan formalnya pun hanya bisa ditempuh hingga bangku Sekolah Menengah Pertama.
Demi meraih kehidupan yang lebih baik, Prajogo memberanikan diri merantau ke Ibu Kota Jakarta pada masa remajanya. Namun, takdir berkata lain, pekerjaan tak kunjung didapat. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke kampung halaman, membawa harapan yang sempat pupus.
Untuk menyambung hidup, tak terduga Prajogo memilih profesi sebagai sopir angkot di tahun 1960. Pekerjaan yang mungkin dianggap biasa ini justru menjadi batu loncatan tak ternilai dalam perjalanannya.
Saat itulah takdir mempertemukannya dengan Bon Sun On, atau yang lebih dikenal sebagai Burhan Uray, seorang pengusaha kayu ternama asal Malaysia. Pertemuan ini menjadi titik balik yang fundamental dalam hidupnya.
Bergabung sebagai karyawan Burhan Uray, pendiri PT Djajanti Group, Prajogo menunjukkan dedikasi dan kerja kerasnya selama tujuh tahun. Loyalitasnya membuahkan hasil, ia dipercaya menduduki posisi General Manager di Pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.
Namun, semangat kewirausahaan dalam dirinya tak bisa dibendung. Setelah hanya setahun menjabat sebagai GM, Prajogo memilih untuk melangkah sendiri, merintis bisnisnya dari nol.
Langkah pertamanya adalah mengakuisisi CV Pacific Lumber Coy, sebuah perusahaan industri kayu yang saat itu tengah terpuruk dalam masalah finansial. Dengan modal pinjaman dari Bank BRI, ia berhasil mengambil alih perusahaan tersebut.
Perlahan namun pasti, Prajogo membenahi manajemen dan bisnis perusahaan. Keberhasilannya membalikkan keadaan CV Pacific Lumber Coy terbukti gemilang, bahkan perusahaan ini memiliki hak konsesi lahan seluas 6 juta hektare di seluruh Indonesia, memproduksi berbagai produk kayu yang diekspor ke Eropa dan Amerika.
Perusahaan itu kemudian bertransformasi menjadi PT Barito Pacific. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini berkembang pesat, terutama di era pemerintahan Presiden Soeharto. Kolaborasi dengan berbagai pihak strategis membuka jalan bagi diversifikasi bisnis ke sektor properti, petrokimia, dan minyak sawit mentah.
Memasuki milenium baru, industri pengolahan kayu mulai mengalami tantangan. Sejak 2004 hingga 2007, beberapa pabrik terpaksa ditutup. Menyadari perubahan lanskap bisnis, Prajogo dengan sigap mengarahkan PT Barito Pacific ke sektor petrokimia dan energi.
Titik krusial terjadi pada tahun 2007 ketika ia mengambil alih 70 persen saham PT Chandra Asri, sebuah perusahaan petrokimia terkemuka. Puncak kejayaan di sektor ini diraih pada 2011 melalui merger antara Chandra Asri dan Tri Polyta Indonesia, menjadikannya perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.
Tak berhenti di situ, Prajogo turut memperkuat lini bisnis energi dengan mengakuisisi saham Star Energy, perusahaan energi panas bumi. Kini, ia memegang kendali penuh atas perusahaan yang mengelola sejumlah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.
Kekayaan Prajogo Pangestu, yang kini menempatkannya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, mayoritas bersumber dari kepemilikan sahamnya di PT Barito Pacific, yang membawahi dua raksasa: Chandra Asri Petrochemical dan Star Energy Geothermal. Berdasarkan data Forbes September 2022, kekayaannya mencapai Rp 80, 4 triliun, menempatkannya di posisi ketiga orang terkaya di tanah air. (PERS)

Updates.