JAKARTA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kembali menyuarakan pentingnya perlindungan bagi para jurnalis saat mereka dihadirkan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Umum PWI, Akhmad Munir, berpendapat bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu diperkuat agar tidak hanya sekadar menjadi norma di atas kertas.
"Perlindungan hukum dalam Pasal 8 harus dimaknai secara aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis bagi wartawan, " tegas Munir pada Selasa (21/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dalam sidang Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025.
Menurut Munir, koordinasi erat antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan sangat krusial untuk mencegah tumpang tindih dan salah tafsir dalam penanganan laporan terkait insan pers. Ia menekankan bahwa perlindungan hukum bagi wartawan bukanlah kekebalan, melainkan jaminan agar jurnalis tidak dipidana akibat karya jurnalistik yang telah sesuai kaidah.
PWI meyakini Pasal 8 UU Pers merupakan pilar penting dalam mewujudkan semangat konstitusi untuk menjamin kemerdekaan pers, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945. "Kami berharap MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat norma ini tanpa mengurangi substansi yang telah berjalan lebih dari dua dekade, " harap Munir.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, menilai Pasal 8 UU Pers sebenarnya sudah memberikan kepastian hukum yang memadai mengenai perlindungan jurnalis. "Penjelasan Pasal 8 sudah tegas menyebut bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis ketika menjalankan kerja jurnalistik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, " ujar Bayu.
Namun, Bayu menyoroti bahwa akar permasalahan justru terletak pada implementasi pasal tersebut di lapangan. Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih kerap terjadi menjadi bukti nyata minimnya perlindungan. "Negara seharusnya hadir memberikan jaminan perlindungan hukum, termasuk bantuan hukum bagi jurnalis korban kekerasan, " tuturnya.
Perkara uji materi ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum), yang diwakili Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono, serta seorang wartawan media nasional, Rizky Suryarandika. Para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 8 UU Pers karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Daldalilkan, frasa "perlindungan hukum" dalam Pasal 8 UU Pers bersifat multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas bagi wartawan. Para pemohon juga menilai pasal tersebut kurang merinci mekanisme perlindungan spesifik ketika insan pers berhadapan dengan aparat penegak hukum atau menghadapi gugatan atas pemberitaan.
Dalam permohonannya, Iwakum mengusulkan agar Pasal 8 UU Pers dimaknai lebih luas, mencakup larangan tindakan kepolisian dan gugatan perdata terhadap wartawan dalam menjalankan profesinya sesuai kode etik, atau mewajibkan izin dari Dewan Pers sebelum tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan dilakukan. (PERS)