JAKARTA - Lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini tengah membedah dugaan adanya praktik korupsi yang menyebabkan membengkaknya biaya proyek monumental Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang kini dikenal sebagai Whoosh. Penyelidikan ini baru saja memasuki fase awal, namun tak ayal telah menyita perhatian publik luas, mengingat skala anggaran yang terlibat dalam megaproyek ini sungguh fantastis.
Budi Prasetyo, juru bicara KPK, secara resmi membenarkan bahwa lembaganya tengah melakukan penelusuran mendalam terkait adanya indikasi peristiwa pidana korupsi dalam proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
"Penyelidikan perkara ini masih berjalan, " tegas Budi saat dikonfirmasi pada Rabu, 29 Oktober 2025. Ia menambahkan, detail lebih lanjut mengenai materi kasus masih belum dapat diungkapkan ke publik demi menjaga kerahasiaan tahapan penyelidikan.
Isu mengenai pembengkakan biaya atau 'cost overrun' ini memang menjadi sorotan tajam di kalangan para pakar. Wijayanto Samirin, seorang ekonom dari Universitas Paramadina, berpandangan bahwa penggunaan istilah 'cost overrun' sejak awal proyek sudah mengindikasikan adanya problem internal yang serius.
“Penyebutan cost overrun (bukan cost escalation) sejak awal sebenarnya seperti sudah mengakui adanya kesalahan internal, ” jelasnya kepada Wartawan, Kamis (30/10/2025).
Wijayanto merinci, 'cost overrun' umumnya lahir dari kekeliruan dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek, berbeda dengan 'cost escalation' yang lebih dipicu oleh faktor eksternal seperti lonjakan inflasi. Pembengkakan biaya ini dinilai krusial karena berpotensi menggerogoti kelayakan proyek secara keseluruhan dan menambah beban keuangan negara yang tidak sedikit.
“Proyek yang awalnya feasible bisa menjadi tidak feasible karenanya, padahal sudah terlanjur dimulai, ” ujarnya.
Dalam konteks proyek Whoosh, isu ini menjadi semakin pelik mengingat pilihan Tiongkok sebagai mitra pembangunan, yang kala itu didasari pertimbangan biaya lebih efisien ketimbang Jepang. Menurut Wijayanto, jika pembengkakan biaya ini diperhitungkan sejak awal, justru Jepang yang seharusnya menjadi pilihan yang lebih rasional. Lebih jauh lagi, pembengkakan biaya ini berpotensi membuka pintu lebar bagi praktik tindak pidana korupsi. Wijayanto menekankan, KPK perlu melakukan investigasi mendalam untuk memastikan apakah kenaikan biaya tersebut merupakan kesengajaan untuk memenangkan Tiongkok, atau justru bagian dari 'mark up' demi keuntungan finansial kelompok tertentu.
“Jika disengaja, berarti ada mens rea atau niat jahat, ini masuk sebagai tindak pidana korupsi. Jika tidak ada mens rea, bisa jadi ini masalah profesionalisme. Kita tunggu kerja KPK, ” pungkasnya.
Dengan penyelidikan yang masih bergulir, publik kini menanti gebrakan KPK dalam upaya memastikan transparansi dan akuntabilitas pada proyek strategis nasional ini, terutama terkait tudingan pembengkakan biaya yang dapat berimplikasi serius pada kas negara. (PERS)

Updates.