JAKARTA - Kasus dugaan suap yang mengguncang Pengadilan Negeri Jakarta Utara memasuki babak baru. Mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, kini menghadapi tuntutan pidana penjara selama 12 tahun, Rabu (29/10/2025). Tuntutan ini diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung terkait perannya dalam kasus korupsi yang berujung pada putusan lepas (onslag) perkara ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada periode 2023-2025. Jaksa menilai Wahyu telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebuah perbuatan yang sangat merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, JPU Syamsul Bahri Siregar menegaskan bahwa pidana terhadap terdakwa harus dikurangi sepenuhnya dengan lamanya waktu penahanan. Namun, perintah agar terdakwa tetap ditahan di rumah tahanan negara juga ditekankan.
Tidak hanya ancaman hukuman badan, Wahyu juga dituntut untuk membayar pidana denda sebesar Rp500 juta. Apabila denda tersebut tidak mampu dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Lebih memberatkan lagi, JPU menuntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp2, 4 miliar, dengan subsider 6 tahun penjara jika tidak dilunasi.
Perbuatan Wahyu dinilai melanggar Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mengacu pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). JPU berpendapat, tindakan Wahyu tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, pengalaman pribadi sang jaksa melihat betapa rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yudikatif akibat kasus seperti ini, menjadi faktor yang memperberat tuntutan.
Fakta bahwa Wahyu telah menikmati hasil dari tindak pidana suap tersebut juga menjadi pertimbangan penting yang memperberat tuntutan yang diajukan oleh JPU. Meskipun demikian, JPU juga mencatat sikap kooperatif Wahyu dalam mengakui perbuatannya dan catatan bahwa ia belum pernah dihukum sebelumnya, yang menjadi elemen dalam pertimbangan hukuman.
Dalam perkara ini, Wahyu sebelumnya didakwa berperan sebagai perantara yang menghubungkan pihak terdakwa korporasi dalam kasus CPO dengan para hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Ia diduga menerima Rp2, 4 miliar dari total suap yang mencapai 2, 5 juta Dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp40 miliar. Suap ini diduga diterima bersama-sama dengan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga hakim yang menyidangkan kasus tersebut: Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin.
Rincian penerimaan uang suap itu cukup mencengangkan. Dalam penerimaan pertama, uang tunai sebesar 500 ribu Dolar AS (sekitar Rp8 miliar) dibagi di antara mereka. Muhammad Arif Nuryanta menerima Rp3, 3 miliar, Wahyu Gunawan Rp800 juta, Djuyamto Rp1, 7 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing Rp1, 1 miliar. Penerimaan kedua jauh lebih besar, yakni uang tunai 2 juta Dolar AS (sekitar Rp32 miliar). Kali ini, Arif menerima Rp12, 4 miliar, Wahyu Rp1, 6 miliar, Djuyamto Rp7, 8 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing kebagian Rp5, 1 miliar. Uang haram ini diduga berasal dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei, yang bertindak sebagai advokat atau perwakilan dari pihak terdakwa korporasi seperti Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Atas perbuatannya, Wahyu didakwa melanggar beberapa pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (PERS)

Updates.