Rijalul Fikri: Retorika Teknokrasi Menghadapi Kematian di Jakarta

    Rijalul Fikri: Retorika Teknokrasi Menghadapi Kematian di Jakarta
    Ir. Rijalul Fikri

    OPINI - Kematian merupakan akhir dari setiap perjalanan kehidupan. Adalah kemudian kita setiap manusia yang hidup untuk bertanggung jawab dalam mengemas dan menempatkan setiap kematian di dalam satu “landscape” hijau yang indah dan tertata rapi.

    Dalam konteks pesatnya laju urbanisasi dan dinamika demografis yang semakin kompleks, Provinsi DKI Jakarta sebagai “epicentrumnya” metropolitan di Indonesia akan menghadapi tantangan yang signifikan dalam pengelolaan siklus hidup dan kematian penduduknya. Jika merujuk data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) maka pada pertengahan tahun 2025, jumlah penduduk di Jakarta akan mencapai sekitar 10, 68 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif stabil namun rendah sebesar 0, 23 persen per tahun. Angka ini mencerminkan tren penurunan fertilitas nasional yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan urban. Kepadatan penduduk yang ekstrem hingga mencapai 16.155 jiwa per kilometer persegi sekali lagi mengukuhkan Jakarta sebagai Provinsi terpadat di seluruh Indonesia. Bermakna distribusi spasial penduduk semakin menekan sumber daya lahan terbatas dan infrastruktur publik. 

    Secara demografis, Jumlah angka “kelahiran” per hari di Jakarta diperkirakan mencapai sekitar 400-450 kasus, sementara angka “kematian” harian rata-rata berada di kisaran 150-250 kasus yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti; penuaan populasi dan penyakit kronis. Kondisi demografis tersebut tentunya tidak sebanding dengan status Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta, di mana dari 80 TPU yang tersebar di lima wilayah administratif, 69 di antaranya telah mencapai kapasitas penuh dan hanya mampu melayani pemakaman tumpang (bertumpuk) untuk mengakomodasi kebutuhan mendesak. Sisa 11 TPU yang masih beroperasi dengan total potensi petak makam mencapai 177.048 pada September 2025 dengan luas keseluruhan yaitu sekitar 614 hektar diproyeksikan hanya mampu bertahan hingga tiga tahun ke depan jika mempertimbangkan angka rata-rata 150-200 pemakaman harian yang akan terus meningkat.

    Gambaran ini mengilustrasikan adanya ketidakseimbangan struktural antara pertumbuhan populasi, laju kematian dan ketersediaan infrastruktur kematian. TPU seperti Pondok Ranggon, Jeruk Purut, dan Tegal Alur telah mencapai ambang batas kritis, sehingga memaksa adaptasi darurat seperti pemakaman tumpang yang tidak hanya menimbulkan isu “etis” tetapi juga resiko sanitasi jangka panjang. Pendekatan teknokratik menekankan tentang perlunya analisis data spasial untuk memetakan distribusi TPU secara lebih merata untuk menghindari konsentrasi “overload” di wilayah pusat dan selatan Jakarta.

    Dalam perspektif teknokratik yang berfokus pada efisiensi sistemik dan mitigasi beban administratif, isu strategis dalam pengelolaan kematian di Jakarta wajib melibatkan optimalisasi proses logistik dan pengurangan disrupsi bagi warga sebagai entitas yang produktif di dalam ekosistem urban. Setiap kasus kematian bukan hanya sekadar peristiwa demografis saja, melainkan satu sistem rantai proses yang rumit. Banyak keluarga sering kali menghadapi kesulitan substansial dalam mencari lahan pemakaman yang dekat dengan domisili mereka. Proses pencarian ini dapat memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu akibat keterbatasan kapasitas TPU lokal, antrian panjang dan keharusan berpindah ke wilayah perifer seperti Tigaraksa atau bahkan luar Jakarta tentunya akan menambah biaya transportasi jenazah dan beban emosional. 

    Tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi DKI Jakarta dalam menghadapi penyempitan lahan TPU adalah; interseksi antara demografi eksponensial, urbanisasi tidak terkendali dan keterbatasan sumber daya spasial. Lonjakan angka kematian yang diproyeksikan meningkat seiring penuaan populasi—di mana proporsi usia lanjut mencapai 10-15%—dan faktor eksternal seperti polusi serta pandemi residual akan semakin memperburuk ketersediaan lahan yang telah menyusut hingga kurang dari 5% perluasan dalam dekade terakhir. Dengan memperhatikan kepadatan penduduk di sekitar TPU yang mencapai ribuan jiwa per hektar maka akan memicu konflik spasial jika ekspansi lahan berpotensi menggusur permukiman informal atau infrastruktur vital seperti di wilayah Jakarta Selatan dan Timur. 

    Dalam perspektif akademik, ini merupakan manifestasi dari teorema urban carrying capacity, yaitu kondisi ketika batas daya dukung kota terhadap siklus hidup-mati menjadi kritis, sehingga menyebabkan resiko “kolaps” infrastruktur jika tidak ditangani dengan baik melalui simulasi model prediksi. Selain itu, Pemda juga dihadapkan pada hambatan struktural seperti mahalnya harga tanah di pusat kota—yang bisa mencapai triliunan rupiah per hektar—dan penolakan komunitas lokal terhadap proyek pemakaman baru, yang dilihat oleh publik sebagai “ancaman” terhadap nilai properti, kualitas hidup, dan nilai budaya. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan ini dibutuhkan pendekatan multi-disiplin, termasuk analisis geospasial untuk memetakan resiko konflik, strategi mitigasi berbasis partisipasi masyarakat dan kerangka regulasi yang fleksibel untuk mengintegrasikan pemakaman dengan ruang terbuka hijau untuk menghindari krisis demografis yang lebih dalam guna memastikan keberlanjutan urban secara jangka panjang.

    Desain perluasan dan pengembangan TPU di Jakarta menjadi urgensi dan tidak bisa diabaikan, karena ini merupakan elemen krusial dalam perencanaan tata kota berkelanjutan yang mengintegrasikan efisiensi spasial dengan keadilan sosial. Strategi ini dapat diuraikan berdasarkan studi perbandingan dari kota metropolitan seperti Tokyo, Singapura dan New York yang telah mengadopsi inovasi adaptif terhadap keterbatasan lahan urban. 

    Di Tokyo, di mana tingkat kremasi mencapai 99?n pemakaman vertikal (seperti columbarium bertingkat) menjadi norma, perluasan dilakukan melalui teknologi modular dengan memaksimalkan ruang vertikal tanpa ekspansi horizontal yang luas, serta didukung oleh regulasi pemerintah yang mendorong kremasi sebagai opsi ramah lingkungan. Singapura, melalui National Environment Agency menerapkan sistem daur ulang lahan dengan eksumasi periodik di setiap 15 tahun dan pengembangan taman pemakaman hijau multifungsi yang tidak hanya mengurangi tekanan pada lahan tetapi juga meningkatkan nilai ekologis kawasan. Sementara New York mengadopsi pendekatan regionalisasi di mana pemakaman dipindahkan ke pinggiran kota dengan kompensasi lingkungan, seperti konversi lahan menjadi ruang terbuka hijau dan integrasi dengan transportasi massal untuk aksesibilitas. 

    Untuk mengurai kepadatan penduduk di sekitar TPU tanpa konflik, strategi seperti pertukaran tanah (land swap) dapat diterapkan. Lahan TPU yang padat dapat diganti dengan lahan baru di dalam provinsi Jakarta—misalnya, dari wilayah pusat ke pinggiran seperti Jakarta Barat (Kalideres) atau Utara—dengan kompensasi berupa infrastruktur komunitas baru seperti; pusat kesehatan atau taman bagi warga terdampak. Pendekatan ini juga harus didukung dengan analisis cost-benefit akademik untuk memastikan keadilan spasial, minimalisasi litigasi dan integrasi dengan rencana tata ruang kota sambil mempertimbangkan aspek budaya seperti preferensi pemakaman tradisional di masyarakat Indonesia.

    Integrasi teknologi digital menjadi “imperatif" dalam mengelola dinamika kematian di Jakarta sehingga menghasilkan “dashboard realtime” yang dapat memantau setiap kelahiran dan kematian harian sebagai bagian dari ekosistem smart city. Sistem ini, dapat menggabungkan data dari RT/RW/Kelurahan melalui platform yang terintegrasi berbasis AI, IoT, dan big data analytics yang memungkinkan visualisasi interaktif seperti “heat maps” untuk menghasilkan prediksi tren demografis dan alokasi sumber daya. 

    Bayangkan skenario di mana Gubernur Jakarta, saat terbangun dari tidur, membuka laptop atau smartphone dan langsung mengakses data presisi: jumlah kelahiran tepat 438 di Kelurahan X pagi ini, atau 102 kematian di RW Y semalam, lengkap dengan proyeksi kapasitas TPU dan alert resiko overload. Pendekatan teknokratik ini tidak hanya meningkatkan responsivitas kebijakan melalui “machine learning” untuk forecasting, tetapi juga sebagai sarana untuk memfasilitasi alokasi sumber daya berbasis evidence (bukti), mengurangi birokrasi manual, meningkatkan akurasi data kependudukan dan mendukung integrasi dengan aplikasi layanan publik terkait. Lebih lanjut, dashboard ini juga dapat dihubungkan dengan sistem kesehatan untuk memantau penyebab kematian sehingga mendukung pencegahan melalui kebijakan berbasis data. 

    Retorika teknokrasi dalam menghadapi setiap kematian di Jakarta menekankan tentang urgensi untuk mendesain perluasan dan pengembangan TPU sebagai fondasi kota yang berkelanjutan dengan mengintegrasi strategi perbandingan global, teknologi digital dan pendekatan partisipatif untuk mengatasi krisis lahan. Kolaborasi antara Pemda, akademisi, sektor swasta dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk mewujudkan ini, demi masa depan di mana siklus hidup-mati dapat dikelola dengan efisien, bermartabat dan resilien terhadap tantangan urban di masa depan.

    Jakarta, 01 Desember 2025

    Ir. Rijalul Fikri adalah Direktur Eksekutif PT. Jurnalis Indonesia Satu.

    rijalul fikri
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    TNI Salurkan Logistik ke Wilayah Terisolasi...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Tondong Tallasa Bangkit: JNI Pangkep Dorong Kebangkitan Potensi Lokal di Timur Pangkep
    Warga Lumin Park Apresiasi Respons Cepat Polda Sumbar Bersihkan Akses Jalan Pascabencana
    Polwan Polda Sumbar Pulihkan Trauma Anak-Anak Korban Banjir Lewat Kegiatan Ceria di Mushalla Nurul Jadid
    Polda Sumbar Terima Bantuan Mobil Pendingin dari Pemprov Sumbar untuk Percepatan Penanganan Korban Bencana
    Ditreskrimsus Polda Sumbar Distribusikan Bantuan Logistik untuk Anggota dan Warga Terdampak Banjir di Pauh

    Ikuti Kami