JAKARTA - Menyentuh langsung ke jantung persoalan kemiskinan di kalangan petani Indonesia, Rokhmin Dahuri, anggota Komisi IV DPR RI, menegaskan bahwa tanpa perubahan fundamental pada luas lahan garapan, kesejahteraan mereka akan sulit terwujud. Ia menyoroti kenyataan pahit bahwa rata-rata luas lahan petani di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, hanya berkisar 0, 4 hektare, sebuah angka yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sangat memprihatinkan.
Pernyataan tegas ini dilontarkan Rokhmin saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyusunan RUU Pangan bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Jaringan Petani Persada, yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (17/11/2025). Ia merasa miris melihat kondisi ini, karena dari pengalamannya, melihat petani berjuang dengan lahan sempit begitu menyakitkan.
Merujuk pada kajian mendalam dari FAO dan IPB, Rokhmin memaparkan bahwa standar minimal untuk sebuah keluarga petani dapat hidup layak adalah menguasai lahan seluas 2 hektare. Dengan luasan tersebut, potensi pendapatan bulanan petani diperkirakan bisa mencapai Rp7, 5 juta, angka yang dianggapnya cukup untuk menopang kehidupan yang layak, sebuah impian yang tampaknya masih jauh bagi banyak petani.
“Selama petani kita hanya menggarap 0, 4 hektare, maka siapapun presidennya, berapapun APBN-nya, petani tetap akan miskin. Karena secara matematis tidak mungkin mereka hidup layak dengan lahan sekecil itu, ” tegas Rokhmin.
Bagi legislator dari Fraksi PDI-Perjuangan ini, persoalan luas lahan bukanlah sekadar isu teknis, melainkan akar struktural yang harus dibenahi secara tuntas dalam revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan. Ia mendesak negara untuk segera mengambil langkah konkret dalam reforma agraria, baik melalui redistribusi lahan maupun skema konsolidasi lahan (land consolidation), demi tercapainya skala ekonomi yang memadai bagi petani.
Rokhmin mengingatkan, kebijakan pangan yang efektif tidak dapat dipisahkan dari kebijakan agraria yang kuat. Tanpa penguasaan lahan yang memadai, berbagai bentuk intervensi pemerintah, seperti subsidi pupuk, bantuan alat mesin pertanian, atau penyediaan benih unggul, akan terasa kurang berdampak signifikan dalam meningkatkan pendapatan petani. Pengalaman saya melihat petani menerima bantuan namun tetap kesulitan membuat saya yakin akan hal ini.
“Subsidi boleh diberikan, teknologi bisa ditingkatkan, tetapi kalau lahannya tetap sempit, pendapatan petani tidak akan berubah. Ini hukum dasar ekonomi pertanian, ” jelasnya.
Ia menambahkan, penguatan skala lahan ini harus berjalan seiring dengan penyempurnaan struktur pasar, perlindungan harga dasar gabah, serta stabilisasi distribusi melalui lembaga negara seperti Bulog. Semua aspek ini saling terkait dan krusial untuk kesejahteraan petani.
Lebih jauh, Rokhmin berharap revisi RUU Pangan dapat merangkul aspek kesejahteraan produsen pangan secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada produksi dan distribusi. Baginya, kesejahteraan petani adalah fondasi utama tercapainya kedaulatan pangan nasional. Tanpa petani yang sejahtera, cita-cita kedaulatan pangan akan sulit terwujud.
“Kedaulatan pangan tidak akan tercapai tanpa petani yang sejahtera. Dan kesejahteraan itu hanya mungkin kalau skala lahannya mencukupi, ” pungkasnya. (PERS)

Updates.